Entri yang Diunggulkan

Essay Diah Ayu Fadilah: Kehidupan Petani dan Segenggam Rasa Syukurnya

Essay Diah Ayu Fadilah: Kehidupan Petani dan Segenggam Rasa Syukurnya


                         Ilustrasi seorang petani yang sedang memanggul padi yang akan ditanam (doc.pixabay/Sasint)

DIREKTORIJATENG.IDKetika mendengar profesi petani, biasanya orang akan membayangkan seseorang yang sudah tua, dengan wajah yang lelah, dan berpeluh keringat yang membasahi tubuhnya.

Bayangan seseorang yang bekerja dengan keras, hingga tak peduli kulitnya terbakar oleh terik matahari, atau badannya yang dipenuhi dengan tanah basah.

Memang pikiran itu tidak sepenuhnya salah, apalagi di Negara Indonesia tercinta ini. Jika mendengar kata petani dan hal itu yang terngiang di kepala. Maka sudah pasti memang ada yang salah dengan sistem pertanian di Negara kita.

Meskipun profesi petani dinilai kurang sejahtera, namun petani selalu memiliki segenggam rasa syukur dan sejuta harapan di dalam diri mereka. Kenapa demikian? Sebagai anak dari seorang petani, penulis sangat memahami bagaimana kehidupan mereka.

Menjadi petani harus benar-benar sabar, bagaimana tidak? Setiap tanah yang dicangkul, rumput yang dicabut, pupuk yang disebar, air yang dialirkan, ataupun saat seorang petani menanam benih padi, kita tidak hanya sekedar melihat sebuah proses.

Lebih dari itu, ada harapan besar, cita-cita yang tinggi, dan doa-doa yang ikut ditanam bersamanya. Meskipun dalam perjalanannya tidak selalu mulus, petani selalu memiliki cara untuk bersyukur.

Sebenarnya ada banyak hal yang mengancam petani, mulai dari cuaca yang tak menentu, banyak hama, gagal panen, pupuk yang langka, terlilit hutang, hingga kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap petani. 

Yang lebih membagongkan, pemerintah membuka ribuan hektar proyek food estate di Kalimantan Tengah yang gagal panen dan ending-nya menjadi kebun sawit. Konon tanah untuk food estate tidak cocok untuk persawahan tapi lebih cocok untuk sawit. 

Tekanan hidup petani luar biasa besar. Peristiwa belakangan, para petani tomat, wortel, cabai, pakcoy di berbagai daerah yang membuang hasil panennya karena harga yang anjlok. 

Kejadian ini mungkin disayangkan bagi sebagian orang, karena harga sayur di daerah mereka masih tetap mahal. Lagi-lagi tidak ada solusi dari pemerintah dan cenderung terjadi berulang. 

Warga atau lembaga bergotong royong membantu petani dengan membeli dengan harga normal. Seperti di Masjid Nurul Ashri di Sleman Yogyakarta, influencer finansial syariah @deramelia bersama follower-nya juga membantu hasil petani, dan gerakan serupa lainnya. 

Sepertinya warga Indonesia sudah terbiasa berusaha sendiri. Sampai saat Pilkada seperti sekarang ini mereka apatis, ya karena tetap saja hidup mereka begitu-begitu saja.
***

Di tengah situasi kurang baik, mental petani diuji. Banyak yang stres karena modal ratusan juta mereka hangus. Namun tidak sedikit juga yang tetap bersyukur atas apa yang masih ada. 

Orang tua penulis contohnya, meskipun hasil panen berkurang drastis akibat kekeringan, namun mereka masih saja bersyukur. Tampak jelas kesedihan tergambar pada raut wajah mereka, namun untaian doa dan rasa ikhlas tetap menyertai setiap langkah.

Mereka percaya, dalam setiap kegagalan akan membawa pelajaran yang berharga. Kita sering kali terjebak dalam kubangan yang pekat, kesulitan untuk sekadar bangkit ketika kegagalan menghampiri diri. Selain rasa syukur, petani juga mengajarkan pada kita untuk mengenal istilah dikotomi kendali.

Dalam buku Filosofi Teras, dikotomi kendali diartikan sebagai konsep dalam filsafat stoa yang mengajarkan dua hal dalam kehidupan, yaitu pada apa yang berada di bawah kendali kita dan apa yang berada di luar kendali kita.

Petani akan fokus dan mengusahakan apa yang bisa mereka kendalikan, seperti menanam benih yang paling bagus, memberi pupuk dan vitamin untuk tanaman, serta mengairi dengan sepenuh hati. Namun untuk seperti apa hasil panen ke depan adalah rahasia Tuhan, dan itu berada di luar kendali mereka.

Mereka hanya bisa mengupayakan dengan semaksimal mungkin, dan terus berdoa. Untuk hasilnya, biarlah Tuhan yang atur. Mari kita ambil hikmah dari kehidupan petani dan segenggam rasa syukurnya.

Dalam setiap tetes peluh, dalam setiap kesabaran dan perjuangannya. Semoga kita selalu ingat untuk terus bersyukur, atas apa yang kita miliki, atas kesempatan, dan tantangan yang kita hadapi.(*)

Editor: Farida 


Belum ada Komentar untuk "Essay Diah Ayu Fadilah: Kehidupan Petani dan Segenggam Rasa Syukurnya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel