Entri yang Diunggulkan

Opini Ayu Reza: Membahas Patriarki yang Tak Kunjung Usai

Cerpen Aisha Veranda Kartika: Error

 

Ilustrasi gambar mawar merah di atas tanah (doc. pixabay/GoranH)


Aku terbangun lagi dan memulai hari seperti sebelumnya, merapikan kamar, bersiap-siap, dan segera bergegas menuju tempatku bekerja. Kerumunan pada pemberhentian bus juga masih ramai seperti biasanya, lagi-lagi membuatku tidak kebagian tempat duduk. 

Aku kembali mengantre untuk melakukan presensi yang masih 15 menit lebih awal sebelum jam masuk, duduk di meja kerja dan membalas sapaan dari para rekan kerja. “Selamat pagi, Senior!” begitulah mereka memanggilku.

Tidak ada yang berniat buruk, julukan itu memang pantas kudapatkan karena selalu memberikan contoh disiplin kepada mereka. Sikap yang selalu aku lakukan sejak tujuh tahun lalu, tepatnya ketika pertama kali aku menempati posisi ini, dengan selalu memegang prinsip yang sama. Berusaha untuk bekerja lebih baik setiap harinya tanpa menimbulkan suatu masalah.

“Hidup itu membosankan,” ucapku pelan. Bintang, sahabatku, mengangguk menyetujui.

“Apa lagi kita sama-sama tidak memiliki keluarga. Tidak ada yang perlu dipertanggungjawabkan, yang memberi apresiasi dan memasang harapan lebih tinggi lagi.”

“Aku merasa jenuh dengan rutinitas yang begini-begini saja.”

“Tidak berniat mencari pasangan?”

Aku menggeleng, Bintang mengangkat kedua pundaknya.

“Mungkin sedikit error akan membuatmu merasa lebih hidup, tapi kamu tidak bisa melakukannya.”

Benar. Citra dan reputasi yang kumiliki membuatku harus berhati-hati dalam berperilaku. Rasanya tidak bebas jika ingin melakukan ini dan itu. Mungkin itu yang membuatku tidak memiliki minat terhadap segala hal di sekitarku. Entah benda ataupun nyawa, cuaca cerah ataupun hujan, semuanya tak berarti bagiku.

“Kemarin aku membaca sebuah nasihat di sosial media. Orang-orang bilang, dijemput akan lebih baik daripada pulang sendiri. Dengan begitu, yang lebih tahu akan mengarahkan kepada tujuan yang sebenarnya,” ucapku sambil membuka history web lalu menunjukkannya pada Bintang. Kepalanya bergerak miring dan setelahnya mengangguk pelan, “Aku mengerti.”

Dua tepukan di pundak kuterima sebagai tanda penyemangat. Aku hanya memasang senyum sekadarnya. “Mulai saat ini, aku akan mencoba menghafal jalan dengan sungguh-sungguh,” tambahku.

“Kamu juga harus fokus pada letak tujuan dan rasa yakin bahwa kamu bisa menggapainya.”

“Terdengar sedikit sulit, tapi aku pasti akan berusaha.”

Bintang memandangku dengan tatapan yang tak kumengerti. Aksinya itu diinterupsi oleh alunan musik yang menandakan bahwa jam kerja telah dimulai. Dokumen-dokumen di atas meja melambai-lambai minta segera diselesaikan.

“Aku mempercayaimu.” Bintang tersenyum lembut sembari mengelus pundakku pelan. Dapat kurasakan perasaan tulusnya, mengisyaratkan bahwa dia benar-benar percaya pada apa yang akan kulakukan. 

Kubalas ucapannya itu dengan helaan napas, terdengar masih ada keraguan di sana. “Terima kasih.”

“Tidak masalah.”

Kami berhenti berbicara dan fokus mengerjakan tugas masing-masing. Detik demi detik terus berjalan hingga tak terasa waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Tidak! Aku melewatkan jam makan siangku lagi.

Kulihat Bintang melangkah menuju ke arahku sembari membawa dua bungkus roti isi. Aku bahkan tidak menyadari kepergiannya tadi.

“Makanlah, ini dariku,” ucapnya meletakkan salah satu roti isi yang dipegangnya di atas meja kerjaku.

“Terima kasih.”

Aku memaksakan setiap gigitan itu dan menelannya. Di sebelahku, Bintang memakan bagiannya sendiri dengan lahap, sangat kontras dengan caraku memakan roti pemberiannya.

Setelah gigitan roti terakhir masuk ke dalam mulutku, alunan musik tanda berakhirnya jam kerja terdengar di telingaku. Aku mulai membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja. 

“Ayo pulang!” 

Kami bangkit dan berjalan bersama menuju halte terdekat. Bus yang biasa membawa kami pulang tiba lebih cepat dari biasanya. Bersama para penumpang lainnya, kami masuk ke dalam bus. Syukurlah, kali ini aku mendapatkan kursi untuk duduk. 

Mengambil waktu sejenak untuk mengamati ramainya pemandangan di luar jendela, kemudian kualihkan pandangan ke arah Bintang yang tampak letih. “Apa kamu juga bersedia mengantarkanku pada tujuan yang lebih jauh?” tanyaku.

Matanya terbuka perlahan dan menatapku lembut.

“Kita berdua harus sama-sama menunggu hingga jemputan datang.”

“Aku mengerti.”

Tatapanku beralih ke arah lain. Membicarakan topik berat di luar jam kerja ternyata membuatku jenuh. Namun, usapan pelan yang kudapat pada punggung tanganku terasa tidak buruk juga.

“Lagi pula, aku harus bersiap-siap lebih lama lagi. Perlu waktu untuk memiliki sesuatu yang seharusnya kubawa serta,” tambahnya.

“Sesuatu? dari mana kamu akan mendapatkannya?”

Aku menoleh kembali hingga mata kami bertemu. Ekspresi Bintang berubah sesaat sebelum kemudian menggeleng pelan. Tautan tangannya terlepas dan ia tersenyum kecil, seperti pengecut yang berusaha untuk memberanikan diri.

“Ini tentang perasaan yang dimiliki oleh seseorang, aku tidak bisa mendapatkannya hingga orang itu rela memberikannya kepadaku.”

Entah kenapa semburat jingga dan rona merah yang selalu terlihat sama di perjalanan pulang, hari ini menjadi sedikit lebih indah. Ada error di sana yang cukup menarik minatku. Mungkin esok, atau pada hari-hari berikutnya, aku akan sepenuhnya terlibat dengan itu.


Cerpen oleh Aisha Veranda Kartika, Mahasiswi KPI UIN Walisongo 2022

Editor: Athiqoh Zakiyah M.

Aisha Veranda Kartika Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam yang senang menyelami platform interaktif dan membuat karangan sembari mendengarkan lagu-lagu dari Idol group Indonesia.

Belum ada Komentar untuk "Cerpen Aisha Veranda Kartika: Error"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel