Entri yang Diunggulkan

Opini Ayu Reza: Membahas Patriarki yang Tak Kunjung Usai

Cerpen Athiqoh Zakiyah: Perasaan yang Tersembunyi

Seorang gadis yang sedang duduk sendirian di tepi tebing (pixabay.com/StockSnap)

Kedua mataku terpejam, menikmati angin yang berhembus menerbangkan helaian rambut panjangku. Aku tidak tau pukul berapa sekarang. Jika melihat letak bayanganku mungkin pukul empat atau lima sore. Entah alasan apa, aku merasa bahwa angin yang menerpa wajahku saat ini, membawa sebuah ketenangan yang sudah lama aku dambakan. 

Aku menarik nafas dalam-dalam, menghirup aroma air laut yang menenangkan dan menghembuskannya perlahan. Aku mencoba untuk mengingat semua masalah yang sedang aku hadapi sampai saat ini. 

Aku harus menjadi seorang dokter untuk memenuhi ekspetasi dan ambisi keluargaku. Padahal aku sama sekali tidak menginginkannya. Mereka mengekangku dan selalu menyuruhku untuk terus belajar dan mendapatkan nilai sempurna di sekolah. 

Belajar, belajar, belajar, dan belajar. Muak rasanya mendengar kata itu setiap hari dari orang yang sama.

Seperti teman-temanku, aku juga ingin mengejar cita-citaku sendiri, melakukan hal yang aku sukai. Pergi karaoke bersama teman setelah pulang sekolah, membaca novel misteri seharian penuh, ke pasar malam bersama adikku, ataupun latihan renang hingga sore untuk persiapan lomba. 

Dan menjadi seorang atlet renang profesional yang terus menjuarai berbagai gaya dan nomor-nomor lomba adalah impianku sejak kecil. 

Namun, aku harus menguburnya dalam-dalam untum memenuhi ekspetasi keluargaku. Jika aku tidak melakukannya, mereka pasti akan memaksa adikku untuk memenuhi ekspetasi dan ambisi mereka. Sebagai seorang kakak, aku tidak ingin masa depan adikku dikorbankan begitu saja.

Aku juga dikucilkan oleh teman kelasku. Awalnya aku tidak peduli. Namun, seiring berjalannya waktu hal itu mampu menekan batinku dan membuatku sedikit stres. 

Aku tidak tau alasan mereka mengucilkanku. Apakah karena aku selalu menjadi perhatian para guru di sekolah? Atau karena aku bukanlah seseorang yang asyik diajak berbicara? Sebenarnya aku pernah bertanya kepada salah satu teman kelasku, tetapi dia malah pergi dan mengabaikanku begitu saja. 

Aku bisa bertahan sampai saat ini karena kekasihku. Dia menjadi tempatku pulang dari segala perasaan yang muncul dari hatiku. Aku mencurahkan semua keluh kesahku padanya. Bersamanya, aku tidak merasa sendiri dalam menghadapi semua masalah yang menimpaku. 

Namun, hal itu sudah tidak berlaku lagi untuk sekarang. Dia lebih memilih untuk menjadi rumah bagi gadis lain. Dia pergi setelah aku memberikan hal berharga yang mungkin tidak bisa orang lain dapatkan dariku. Dia pergi meninggalkanku seorang diri dengan perasaan sesal yang masih bercokol di hatiku. 

Aku sendirian sekarang. Tidak ada tempat untukku pulang dan berkeluh kesah tentang segala hal yang aku rasakan. Aku juga harus menghadapi semuanya sendiri. Apakah aku akan kuat? Aku lelah dengan semua hal yang terjadi padaku. Tuhan, bolehkah aku menyerah sekarang?

Kubuka mataku, melihat ke bawah sana dan menerka-nerka, apakah ada batu karang runcing di balik air laut yang terlihat ganas menghantam dinding tebing? Hm, mungkin bisa langsung membawaku menemui Tuhan jika aku menjatuhkan diri ke bawah sana. Dan kurasa.... Menyatu dengan air laut lebih baik daripada harus bergelantungan diri dengan tali yang mengikat di leher. Bukankah aku selalu ingin bersahabat dengan air? 

“Rin, kamu gak ada niat buat loncat, kan?” Sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku. Menoleh ke sumber suara, aku melihat seorang gadis berambut pendek yang sudah kukenal tiga tahun terakhir. Raut wajahnya menyiratkan perasaan takut, cemas, dan khawatir. Aku diam, tidak menjawab pertanyaan yang dilontakan teman dekatku, Aruna. 

Tak mendapat respon yang diinginkannya, Aruna mulai berjalan pelan mendekatiku. Dia memegang tanganku dan menarikku menjauh dari tepi tebing yang bisa membahayakan nyawaku. Tak ada perlawanan yang kuberikan karena terlalu lelah dengan semuannya. Aku hanya pasrah saat Aruna membawaku jauh dari tepi tebing.

“Kamu kenapa? Aldo bilang kalau tingkahmu sebelumnya aneh. Dia khawatir banget sama kamu, Rin,” ucap Aruna menatapku dalam. 

Aku tetap diam membisu dan mengalihkan pandanganku ke arah tempatku tadi berdiri. Aruna yang tak kunjung mendapat jawaban dariku, menangkup kedua pipiku dengan tangannya. 

“Marina, tatap aku dan dengerin ini baik-baik. Kamu itu kalau ada masalah cerita, Rin. Jangan dipendam sendiri. Ga semuanya harus kamu tanggung sendirian. Kamu bisa cerita semua yang kamu rasakan ke adikkmu atau aku, Rin. Kita kenal ga cuma satu, dua bulan aja, loh. Jangan pernah merasa kalau kamu sendiri. Sadar kalau kamu masih punya Aldo dan aku yang bisa kamu jadikan tempat untuk pulang, tempat untuk menumpahkan semua keluh kesahmu." Tatapannya begitu dalam menyelam kedua mataku.

"Apa kamu ga sadar kalau kami masih sayang dan peduli sama kamu? Apa tindakan kami kurang menyadarkanmu, Rin? Kami itu sayang dan peduli sama kamu, loh. Bahkan Aldo sampai nelfon aku sambil nangis sesenggukan dan minta bantuan buat nyari keberadaan kakaknya ini,” lanjutnya. 

"Berat, Run. Kamu ga akan ngerti," ucapku pelan, sangat pelan. Aku tidak yakin apakah Aruna akan mendengar ucapanku atau tidak.

"Maka dari itu, buatlah aku mengerti. Cerita padaku segala hal yang membuatmu sakit sampai berbuat nekat seperti ini. Aku mungkin gak akan sepenuhnya mengerti perasaanmu, kesedihanmu, dan rasa sakitmu. Tapi aku tetap akan berusaha untuk mengerti dirimu. Dan yang terpenting, kamu tidak sendiri, aku akan selalu di sisimu, Rin. Mendengarkanmu, menyemangatimu juga mendoakanmu. Begitu juga Aldo. Jangan sampai kamu terlalu larut dengan kesedihanmu hingga kamu lupa ada kami di sini."

Aku terdiam memikirkan semua kata yang keluar dari bibir cantik Aruna, dari awal hingga akhir. Mungkin Aruna benar. Aku terlalu larut dengan masalah yang menimpaku hingga aku tak menyadari kepedulian yang diberikan oleh orang di sekitarku. Tanpa kusadari, aku mulai menjauh dan memendam semuanya sendiri karena takut membebani mereka. Aku tidak ingin membuat Aldo khawatir dan mengganggu kesibukkan Aruna. 

Membicarakan tentang adikku, Aldo, aku teringat kembali dengan wajah adikku saat aku mengucapkan salam perpisahan padanya. Dan ya, Aldo menangis sangat keras. Sebenarnya aku benci melihat adikku menangis, apalagi penyebab tangisannya itu adalah aku. Namun, saat itu pikiranku kacau. Aku pergi meninggalkan adikku seorang diri di rumah.

Mengingatnya membuatku kesal dan marah pada diriku sendiri. Aku tidak becus menjadi sosok kakak bagi Aldo. Bukannya menjaga dan membuatnya tersenyum, aku malah berniat untuk pergi meninggalkannya seorang diri.  

Pandanganku memburam dan aku merasakan basah pada kedua pipiku. Aruna menarikku ke dalam pelukannya saat menyadari cairan bening keluar dari mataku. Aku menangis kencang, mengeluarkan semua perasaan yang sudah lama terpendam di dalam hatiku. Aruna terus memelukku erat, menenangkanku dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Aku bersyukur masih ada Aruna di sampingku. Bagaimana bisa aku lupa dengan kepedulian yang Aruna berikan selama ini? 

Setelah puas menangis, aku menceritakan semua masalah yang kurasakan kepada Aruna. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali dia akan mengusap punggungku untuk menyalurkan semangat dan perasaan nyaman padaku. Aruna juga memberikan beberapa saran dan solusi setelah kuminta pendapatnya. Dari sinilah aku bisa melihat sisi dewasa yang Aruna miliki. 

Setelahnya, perasaan lega hinggap di hatiku. Dia benar, tidak semuanya bisa aku pendam sendiri. Ada kalanya aku membutuhkan tempat untuk mencurahkan semua yang kurasakan. Sekarang aku menyadari satu hal. Aku tidak lagi sendirian dalam menghadapi hidup yang penuh dengan lika-liku. Aku juga sudah menemukan kembali tempat untukku pulang dan bersandar ketika merasa lelah dengan kehidupan.  Dan aku berterima kasih untuk mereka yang menjadi rumah untukku saat ini, Aldo dan Aruna. 


Cerpen Athiqoh Zakiyah Marfai, Mahasiswi KPI UIN Walisongo Semarang 2022

Belum ada Komentar untuk " Cerpen Athiqoh Zakiyah: Perasaan yang Tersembunyi"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel