Kampung Nelayan Tambakrejo, antara Harapan dan Ancaman
Warga Tambakrejo tengah memperingati Hari Nelayan Nasional dengan mengadakan upacara (foto: direktori jateng/haqqi)
Dalam panas-teriknya siang di bulan puasa, beberapa pemuda di kampung nelayan Tambakrejo tampak sibuk memasang bambu yang dipasang secara berjejeran. Mereka (para pemuda) berkumpul di lapangan depan Masjid Al-Firdaus sesambil membawa alat-alat yang diperlukan. Masing-masing bambu tersebut dikaitkan dengan bendera sehingga tampak seperti penganti tiang bendera, lalu ada satu bambu utama yang diletakkan di tengah yang sengaja tidak dikaitkan dengan bendera. Mereka tampak bersemangat, karena memang momentum tersebut hanya berlangsung sekali dalam setahun, yakni peringatan Hari Nelayan Nasional pada Jum’at 7 April 2024.
Kampung Tambakrejo terletak di sebelah paling utara Kota Semarang dan bersebelahan dengan jalan pantura. Nelayan dan Tambakrejo. Seakan keduanya tak terpisahkan karena memang kampung ini berhadapan langsung dengan laut Jawa, menjadikan profesi nelayan adalah satu hal yang maklum di sana. Namun jangan disangka semuanya akan berjalan selayaknya nelayan pulang-pergi membawa hasil tangkapan, tidak semudah itu. Warga Tambakrejo mesti berhadapan dengan hak kepastian pemukiman mereka, bencana banjir yang tak berkesudahan, dan berbagai ancaman lainnya.
Sore itu para warga Tambakrejo, Organisasi Warga (4 Kelompok Nelayan, Koperasi Nelayan Tambakrejo, PKK Tambakrejo, dan lainnya), dan Organisasi Masyarakat Sipil (Walhi Jateng, Kolektif Hysteria, Dewan Kesenian Semarang, KNTI Kota Semarang, dan lainnya) merapatkan barisan ke tengah lapangan. Bendera kebangsaan Indonesia di naikkan, semua mengangkat tangan hormat sesambil menyanyikan lagu “Indonesia Raya”. Dengan kesederhanaanya, acara seremonial tersebut berlangsung penuh khidmat.
Setelah upacara selesai, para warga bersegera menggelar tikar dan duduk melingkar mempersiapkan acara selanjutnya, sarasehan dan rembug warga. Pada acara ini hadir juga Sekda Kota Semarang, Iswar Aminuddin yang turut memberikan sambutan. Menurutnya, hubungan masyarakat satu dengan yang lainnya di Tambakrejo ini cukup baik. Walaupun demikian, Iswar berpesan agar warga Tambakrejo jangan memaksakan bertempat tinggal lama di sana. “Pertama, ini bukan tanah milik pribadi (disewakan dari Dinas PUPR). Kedua, lokasi saat ini terjadi penurunan 10 cm pertahun. Maka diperlukan biaya yang banyak agar tetap terjaga,” pesannya. Ia berharap agar keinginan masyarakat bisa terwujud dan pemerintah mampu mengawal dalam rangka meningkatkan ekonomi.
Para warga Tambakrejo yang kebanyakan berlatar sebagai nelayan, satu per satu bergantian mengutarakan uneg-unegnya. Salah seorang nelayan, Dani menyebut hari-hari semacam ini (Hari Nelayan Nasional) perlu diperingati, untuk membuktikan bahwa nelayan Tambakrejo guyub rukun. Ia juga merasa miris dengan kondisi para nelayan yang sering dianggap sebelah mata. “Di mata orang, nelayan tidak bisa berpendidikan seperti lainnya, dan ketika beradu argumen kita (nelayan) selalu kalah.” Padahal menurutnya, tanpa peran nelayan belum tentu semua orang bisa menikmati hasil laut yang nantinya diolah menjadi berbagai masakan.
Hari semakin sore, anak-anak TPQ berlarian riang dan para ibu mempersiapkan menu berbuka puasa. Kini giliran Aksis yang juga seorang nelayan, mengaku cukup bersyukur dengan adanya pengusuran di wilayah mereka, yang dengannya ia justru belajar banyak hal. Aksis sering berdiskusi dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), aktivis, dan mahasiswa yang menjadikannya berpikiran lebih terbuka. Sebelumnya, rumpon kerang warga ditabrak oleh kapal tongkang perusahaan hingga menyebabkan kerugian bagi nelayan. Dengan bantuan dari LBH, Aksis dan nelayan lainnya mulai berani untuk menyuarakan keresahannya. “Dulu taunya Cuma menebar jaring dan rumpon, sekarang kita menjadi berani,” kata Aksis.
Dari perwakilan organisasi masyarakat sipil, Iqbal mengatakan cukup khawatir akan masa depan kampung nelayan Tambakrejo, serta mempertanyakan ruang tangkap nelayan. Pasalnya wilayah Tambakrejo seakan dikelilingi oleh proyek swasta dan pemerintah. Sebut saja adanya sea belt, jalur transportasi laut PT Pelindo, dan tol tanggul laut Semarang-Demak. “Laut kita ini yang nentuin bukan dari kita, tapi orang dari istana (pemerintah). Makanya tiba-tiba ada tol, ada reklamasi, sedangkan kita yang di bawah tidak terlibat menentukan nasib ke depan.”
Setelah saling keluh kesah dan bercerita, para ibu membagikan takjil dan menu buka puasa kepada warga dan pengunjung. Menu berbuka kali ini adalah Ikan Bawal dan Nila Goreng yang dilumuri dengan sambal kecap. Hingga adzan maghrib berkumandang tanda waktunya berbuka puasa, semuanya bersuka-cita dan makan dengan lahap. Setelah itu warga melaksanakan shalat berjamaah, lalu kembali malam.
Belum ada Komentar untuk "Kampung Nelayan Tambakrejo, antara Harapan dan Ancaman"
Posting Komentar