Entri yang Diunggulkan

Curug Bengkawah, Air Terjun Kembar di Kabupaten Pemalang

Ancaman Kesehatan Mental Gen-Z Akibat KBGO


Komentar tidak senonoh di media sosial dapat termasuk KBGO (Unplash.com/Nik)

DIREKTORIJATENG.ID - Generasi kelahiran dari tahun 1990-an hingga 2010-an yang disebut dengan sebutan Gen-Z, tumbuh dan berkembang di era digital. Zaman sekarang adanya teknologi digital yang makin canggih, memudahkan Gen-Z dalam mendapatkan informasi dari berbagai belahan dunia. Namun adanya teknologi digital, membuat banyaknya kekerasan atau pelecehan yang tidak hanya terjadi di dunia nyata saja. Adanya beragam jenis media sosial, seperti Instagram, X, Facebook, WhatsApp, Telegram, Tik Tok, dan beragam aplikasi dating membuat banyak orang dari berbagai daerah atau kota dapat berkomunikasi, berinteraksi dan saling berbagi informasi. Fenomena ini dapat berdampak pada kesehatan mental Gen-Z karena adanya interaksi yang tidak sehat dalam platfrom digital. Informasi tersebut dapat menjadi Kekerasan Berbasis Gender Online atau KBGO berupa tindakan s3xting dari sebuah komentar ataupun tindakan lainnya.


Lalu apa sih yang dimaksud dengan kata s3xting? S3xting adalah tindakan kekerasan seksual yang tindakannya tidak secara langsung, namun kekerasan atau pelecehan yang terjadi pada ranah digital. Tindakan S3xting dapat berupa pengiriman pesan, foto, atau video yang bersifat seksual. Di media sosial s3xting bisa muncul dalam bentuk komentar cabul, atau komentar dengan kata-kata tidak senonoh, dan lain sebagainya. 


Adakah dampak dari s3xting ini? Banyak sekali dampak yang timbul dari s3xting ini, salah satunya dampak yang terjadi pada Gen-Z adalah gangguan pada kesehatan mentalnya. Kesehatan mental remaja yang masih sangat rentan, mudah sekali untuk terdiagnosa gangguan mental. Timbulnya mental yang tidak sehat ini karena adanya rasa takut, rasa malu, depresi, dan kehilangan harga diri atas tindakan s3xting tersebut. 


Kasus s3xting tidak hanya terjadi pada perempuan saja namun juga terjadi pada seorang pria. Di era sekarang berdasarkan pengalaman salah satu pemuda sebut saja A, dia mengalami penindasan dalam bentuk s3xting dari netizen, akibat unggahan yang dia unggah di akun media sosialnya. Unggahan yang ia buat adalah berupa foto mirror selfie dengan telanjang dada yang menampakan badan kotak-kotak dan hanya  mengenakan celana olahraga. Foto yang dia ambil adalah foto setelah GYM. Tujuannya membuat unggahan tersebut adalah ingin memberikan apresiasi terhadap dirinya sendiri terhadap proses GYM-nya yang badannya mulai terbentuk. Komentar-komentar dari netizen tidak hanya membuatnya merasa terganggu namun juga menimbulkan rasa takut. Komentar yang disampaikan misalnya, “ada yang tegak tapi bukan keadilan”, “temani aku boleh kali”, “roti sobeknya pengen aku gigit” dan yang paling parah adalah pada komentar yang tertulis kata “rahimku anget mas”.  


Dari kasus tadi si A merasa terancam dan takut jika ia bertemu dengan netizen secara langsung, akan mengalami pelecehan atau kekerasan seksual secara langsung. Komentar dari unggahannya ada beberapa akun netizen yang ternyata adalah teman GYM-nya. Setelah kejadian itu ia selalu merasa khawatir jika sedang ada di luar rumah atau tempat GYM.


Trauma-pun dialaminya, karena ia merasa trauma jika badannya bagus akan mendapatkan pelecehan dari orang-orang. Ia akhirnya berhenti nge-GYM dan takedown unggahan di akun media sosialnya. Namun jejak digital tidak bisa dihindarinya, banyak akun yang telah mengunggah ulang fotonya di berbagai akun media sosial. 


Beberapa kali ia mendapatkan pesan dari akun yang tidak dikenal, Pesan tersebut berupa pengiriman gambar alat vital. Pesan berupa gambar tersebut tidak hanya dari akun lawan jenis (perempuan), namun juga dari akun sesama jenis (laki-laki). Selain pesan berupa gambar-gambar tidak senonoh, dia juga mendapatkan pesan dengan beberapa bentuk pesan teks. Salah-satu pesan yang dia dapatkan adalah “Pap anumu dong, kita nanti tukeran”. Dari kasus tersebut si A trauma berat, dan memiliki rasa takut yang berlebihan. Bahkan dia dikucilkan dari masyarakat sekitar yang mengira bahwa dia adalah pemuda yang telah rusak moralnya. 


Kasus serupa dirasakan oleh salah satu gadis yang masih usia sekolah, sebut saja D. Dia merasakan menjadi korban s3xting berupa teror dari nomor yang tidak dikenal pada aplikasi WhatsApp. Berdasarkan penjelasan D, dia mendapatkan pesan / chat dari nomor baru yang tidak dikenalnya. Awalnya chat normal seperti orang pada umumnya, namun berjalannya waktu D dipaksa untuk menerima Video Call (VC) dari pelaku yang mengajak korban untuk VCS (Video Call Sexs). Karena paksaan untuk berbuat yang tidak senonoh D memblokir nomor pelaku. Setelah nomornya diblokir, pelaku beralih aksi melalui aplikasi lain. Pelaku mulai mengikuti Instagram, Tik Tok, dan Telegram, namun korban sudah mengetahui bahwa itu adalah akun pelaku, jadi korban tidak menggubris tingkah pelaku.


Kejadian lain pun terjadi pada D, dia tiba-tiba menerima pesan berupa foto dengan pengaturan sekali lihat di WhatsApp yang lagi-lagi nomor tidak dikenal. Foto pada pesan tersebut adalah foto alat vital pria. Selain foto alat vital, pelaku pun beberapa kali VC, karena penasaran korban menerima VC pelaku. Korban disuruh untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah. Saat korban sudah menjulurkan lidah, tiba-tiba kamera diubah menjadi kamera belakang dan memperlihatkan bagian bawah pelaku. Penampakan yang dilihat D dari layar HP-nya adalah pelaku sedang melakukan masturbasi. 


Dari dua kasus tersebut D selalu merasa khawatir, takut, cemas, dan trauma saat menerima pesan dari nomor baru. Setiap ada pesan dari nomor yang tidak dikenal, dia selalu berpikir dua kali untuk membalas pesannya. Bahkan beberapa kali ia jutek dalam membalas pesan pada nomor baru. Hal ini pun terjadi saat temannya mengganti nomor HP dan mengirim pesan pada D, namun dijawab oleh D dengan jutek karena rasa takutnya terhadap nomor baru. 


Dari kasus tersebut dapat kita pelajari bahwa bahayanya tindakan kekerasan seksual berbasis online tidak memandang gender, entah perempuan atau pria bisa menjadi korban dan bisa menjadi pelaku. Kekerasan seksual digital dapat terjadi tanpa melihat usia korban. Bahkan pada anak-anakpun s3xting rentan terjadi. 


Kasus yang dialami A dan D  menunjukkan bahwa s3xting  memiliki dampak yang sangat merusak. Dampak dari s3xting dapat berdampak pada kesehatan mental. Apalagi bila s3xting terjadi pada Gen-Z atau usia remaja yang mentalnya sangat rentan, karena masa remaja adalah masa pembentukan karakter. Terganggunya kesehatan mental yang terjadi akibat s3xting menurut  dr. Fadhli Rizal Makarim dalam website Halodoc adalah dapat berupa trauma dan ketakutan, kecemasan dan ketidaknyamanan, serta depresi. Berikut penjelasan dampak-dampak dari s3xting terhadap kesehatan mental berdasarkan kasus di atas sebagai berikut :

  1. Trauma dan ketakutan, trauma adalah kondisi di mana yang terjadi adalah akibat dari peristiwa buruk yang menimpa seseorang. Seperti s3xting ini, dapat menjadi suatu peristiwa buruk yang dapat menimbulkan trauma seperti yang dialami oleh si A dan D pada kasus di atas. Kemudian rasa takut, rasa takut dapat timbul karena rasa tidak aman yang dirasakan korban. Ia merasa takut atau tidak aman jika berada di luar rumah. Rasa takut ini akan menimbulkan si A menjalani hidup secara tidak normal. Karena adanya rasa takut akibat dari s3xting yang dialaminya akan terjadi pula di dunia nyata. Ketakutan juga muncul pada penilaian dan pengucilan dari masyarakat sekitar, yang menganggapnya moralnya rusak. Membuat A takut berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

  2. Kecemasan dan ketidaknyamanan, kecemasan dan ketidaknyamanan adalah dua dampak psikologis. Kecemasan adalah perasaan tegang, khawatir, atau ketakutan yang berlebihan terhadap situasi atau peristiwa yang mungkin terjadi di masa depan. Dalam kasus s3xting yang dialami oleh A dan D kecemasan muncul karena mereka cemas tentang kemungkinan pelecehan yang berkelanjutan baik secara online bahkan secara offline. Kemudian ancaman terhadap penerimaan pesan-pesan tidak senonoh di media sosialnya dari orang-orang yang tidak dikenal, membuat A dan D cemas bila pelecehan ini akan menjadi bagian yang permanen dalam hidupnya dan terjadi secara berulang terus menerus. Kemudian ketidaknyamanan adalah perasaan tidak nyaman atau kegelisahan yang timbul dari situasi yang mengganggu dan tidak diinginkan oleh A. Ketidaknyamanan yang muncul dari kasus A dapat dari komentar-komentar yang terlontar dari para netizen. Bahkan ia juga tidak nyaman akibat dari kasusnya ia selalu menerima pesan yang tidak sopan dari orang-orang tidak dikenalnya. Kemudian ketidaknyamanan ini muncul juga setelah A mengetahui bahwa beberapa pelaku pelecehannya adalah teman GYM-nya, membuat ia tidak nyaman saat berinteraksi dengannya.

  3. Depresi, depresi adalah kondisi kesehatan mental yang ditandai oleh perasaan sedih yang mendalam dan berkelanjutan. Kehilangan minat dalam aktivitas yang biasanya dinikmatinya, serta berbagai gejala fisik dan emosional lainnya. Dalam kasus s3xting yang dirasakan A depresi muncul akibat komentar negatif yang berbau pelecehan seksual yang diterimanya. Ia juga depresi akibat dari pesan-pesan yang tidak senonoh yang menyerang akunnya. Hal tersebut membuatnya merasa tidak berharga lagi dan kehilangan hobi GYM-nya.


Dari kasus s3xting yang dialami si A dan D bahwa tindakan pelecehan seksual berbasis online sangat merugikan korban, terutama pada kesehatan mental. Kesehatan mental sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang, karena kesehatan mental dapat menyebabkan orang kehilangan arah dan merasa hidupnya tidak berguna bahkan bisa menyebabkan sakit jiwa. Berdasarkan analisis dan observasi banyak juga korban s3xting yang mengakhiri hidupnya. Jadi hubungi profesional untuk perlindungan jika mendapat kasus serupa. (*)


Penulis: Heru Sofyan, Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Walisongo Semarang

Editor: Farida R




Belum ada Komentar untuk "Ancaman Kesehatan Mental Gen-Z Akibat KBGO"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel