Entri yang Diunggulkan

Essay Diah Ayu Fadilah: Kehidupan Petani dan Segenggam Rasa Syukurnya

Kuliah Karawitan, Ikhtiar Akademisi Lestarikan Budaya

SUASANA BELAJAR GAMELAN. Para mahasiswa program MBKM Tembang Jawa dan Karawitan tengah berlatih gamelan bersama instruktur, Sarjita Dwi Winarna (tengah) di lantai 2, LaboratoriumDakwah, Kampus III UIN Walisongo Semarang. (Shinta Ayu / Direktorijateng.id) (27/2/2024)

SEMARANG, DIREKTORIJATENG.ID - Rutinitas Selasa pagi, pukul 07.15 WIB, 25 orang mahasiswa duduk berhadapan dengan gamelan di ruangan lantai 2 Laboratorium Dakwah, Kampus III Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang.

Rasa kantuk tidak memudarkan semangat para siswa mempelajari gamelan, alat musik tradisional Indonesia yang memiliki suara unik dan khas.

Pertemuan awal, siswa masih mempelajari gamelan dengan aransemen sederhana.

Setiap individu memegang satu instrumen. Mereka siap menabuh gamelan yang beragam jenisnya sesuai arahan arahan, satu setengah jam ke depan.

Selama itu pula, mata terfokus pada papan tulis yang berisi rumus-rumus notasi aransemen Manyar Sewu dan Kebo Giro. 

Kedua aransemen tersebut sering dimainkan untuk mengiringi prosesi pernikahan adat Jawa.

Begitu kendang ditabuh, alunan musik gamelan secara serentak mulai terdengar di telinga.

Salah satu mahasiswa Komunikasi Penyuaran Islam (KPI) program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), Dela Anadra merasa bahagia dapat mengikuti kelas Tembang Jawa dan Karawitan.

Istilah “Karawitan” memiliki arti seni gamelan, menciptakan suara yang bertangga nada slendro dan pelog.

“Senang, soalnya pengalaman baru, praktik bersama di kelas bikin cepat paham,” ucapnya lewat pesan singkat, Selasa (5/3/2024).

Perlu kecakapan menyelaraskan nada agar gamelan memiliki bunyi yang merdu.

Bagi pemula, hal mendasar susah-susah mudah yang perlu dikuasai adalah notasi angka.

serupa tuturan mahasiswi MBKM lainnya, Siti Nur Khumairo

“Pertama kali main (gamelan), seru dan mudah tapi sulit menghafal letak angka (notasi),” katanya melalui pesan singkat, Selasa (5/3/2024).

Instruktur gamelan, Sarjita Dwi Winarna belajar instrumen tersebut otodidak sedari kecil.

Tidak ada gelar akademis yang tersemat di belakang nama, seluruh ilmu Sarjita berasal dari pengalaman hidup dan kecintaanya terhadap gamelan.

Terlebih lagi, pria kelahiran Yogyakarta, 16 Januari 1962 itu dibesarkan di lingkungan keluarga budayawan. Almarhum ayah Sarjita adalah seorang dalang wayang kulit.

Dalang merupakan individu yang melantunkan alur cerita sambil menggerakkan boneka wayang di balik layar. Umumnya, dalang membawakan sebuah cerita yang sarat akan nilai moral.

“Saya tidak punya gelar akademis. Ayah dulu seorang dalang, setiap hari saya mendengar dan mulai belajar gamelan,” tuturnya saat ditemui di Taman Dakwah Kampus III, Rabu (6/3/2024).

Sebelum mengajar di UIN Walisongo pada tahun 2021, Sarjita mendedikasikan ilmu karawitan di Sanggar Budaya Sobokartti yang terletak di Jalan Dr.Cipto Semarang hingga kini.

UIN Walisongo menyediakan ruangan praktik karawitan yang diisi oleh instrumen-instrumen gamelan tabuh seperti kenong, bonang, gong, slenthem, demung, saron, kempul dan kendang.

Instrumen gamelan memiliki dua jenis nada atau laras. Nada tinggi disebut laras pelog sementara nada rendah disebut dengan laras slendro.

Tingkat kesulitan instrumen gamelan berbeda-beda. Namun, Sarjita menilai bahwa kunci kesuksesan menguasai satu atau bahkan seluruh instrumen bergantung pada tekad dan niat pribadi.

Berbeda dengan alat musik modern, bermain gamelan cenderung melibatkan kepekaan terhadap nada dan kecakapan menyelaraskan tabuhan.

Salah satu tips agar mudah mempelajarinya yaitu sering mendengarkan irama gamelan secara langsung atau melalui Youtube dan aplikasi.

“Gamelan mempunyai tingkat kesulitan yang berbeda-beda, tetapi semua kembali pada seberapa besar keinginan untuk belajar,” jelasnya.

Eksistensi gamelan saat ini masih terjaga, meski masyarakat hanya bisa menjumpainya di momen tertentu seperti ritual adat, dan acara resmi.

Hal tersebut dikarenakan nominal biaya mengundang jasa karawitan yang tidak sedikit, berkisar di angka 15 juta rupiah.

Sejauh ini UIN Walisongo masih menyuguhkan karawitan atau permainan gamelan di momentum resmi, misalnya wisuda, pengukuhan guru besar, dies natalis, Kongres Ulama Perempuan

Indonesia (KUPI) dan Konferensi Internasional Tahunan Studi Islam (AICIS) KE-23.

Sarjita berharap melalui program MBKM Tembang Jawa dan Karawitan mampu mencetak mahasiswa yang berkompeten memainkan gamelan sekaligus melestarikan budaya.

“Harapannya saya bisa mengajak anak-anak tampil di forum terbuka dan bisa menabuh gamelan untuk mengiringi wayang,” tutupnya.

Melansir portal resmi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, pada tahun 2021, UNESCO menetapkan gamelan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) atau Intangible Cultural Heritage.

Program Asa MBKM Tembang Jawa dan Karawitan

Ketua Jurusan KPI UIN Walisongo, Alfandi menyampaikan bahwa program MBKM sebagai bentuk respon perguruan tinggi terhadap dinamika perkembangan keilmuan dan teknologi yang pesat.

MBKM merupakan kerangka acuan untuk menyiapkan peserta didik agar mampu menjadi sarjana tangguh dan unggul serta memiliki kompetensi yang sesuai dengan minat.

Program MBKM bertujuan untuk memfasilitasi dan mendorong siswa agar menguasai ragam keilmuan yang lebih variatif berdasarkan minat bakat masing-masing.

Melalui MBKM, diharapkan mampu menciptakan kultur belajar, menyesuaikan kebutuhan siswa.

“Mahasiswa pasti memiliki passion yang berbeda, jadi MBKM ini pembelajaran otonom dan fleksibel,” tuturnya melalui pesan suara, Rabu (6/3/2024).

Jurusan KPI yang merupakan bagian dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK ) adalah bidang studi yang erat kaitannya dengan media.

Program pengadaan benang merah MBKM Tembang Jawa dan Karawitan oleh KPI UIN Walisongo terletak pada esensi media dan seni Jawa sebagai bagian dari saluran komunikasi.

“Media KPI bukan hanya dalam konteks media modern, tetapi juga media komunikasi tradisional yang perlu dijaga kelestariannya,” ucap Alfandi.

Terlebih lagi, eksistensi gamelan memberikan identitas terhadap nama lembaga UIN Walisongo. 

Saat penyebaran agama Islam di nusantara, tokoh Walisongo seperti Sunan Kalijaga menggunakan gamelan untuk berdakwah.

Kuliah gamelan sebagai ikhtiar sejarawan melestarikan budaya tidak hanya dijumpai di UIN Walisongo Semarang.

Lembaga perguruan tinggi seperti Universitas Negeri Semarang (UNNES), Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) pun turut memfasilitasi mahasiswanya untuk belajar alat musik gamelan tradisional.

“Perguruan tinggi di Semarang yang mempelajari gamelan seperti UNNES dan UPGRIS,” tutupnya.

Reporter: Shinta Ayu Aini

Belum ada Komentar untuk "Kuliah Karawitan, Ikhtiar Akademisi Lestarikan Budaya"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel