Entri yang Diunggulkan

Essay Diah Ayu Fadilah: Kehidupan Petani dan Segenggam Rasa Syukurnya

Sapa Tanpa Rupa

(dok. Pinterest/QICO designs/
qico-designs.com
)

Sinar mentari mengintip melalui celah jendela kamar seolah mengecek apakah penghuninya baik-baik saja setelah kabar yang malam tadi ia dengar. Kasur yang dingin, kedua bantal dan guling pada kepala ranjang serta selimut yang masih terlipat rapi menandakan tuannya tak tidur dengan nyaman semalam. Lantas dimana dia? perempuan cantik dengan mata cokelat rusa dan bibir tipis yang selalu tersenyum kala siapapun menyapanya. 

"Kak?Udah bangun belum?Makan dulu yuk". Suara Bunda terdengar jelas dibalik pintu, sebenarnya ia tak tidur. Perempuan itu tak tidur semalaman.

Marisa Abimanyu, dengan berat hati bangun dari duduknya dan menuju kamar mandi, membasuh muka agar mata sembabnya tak begitu terlihat. Perempuan 20 tahun yang akrab disapa Risa itu adalah anak pertama dari dua bersaudara, Ayah dan Ibunya masih utuh, keluarga yang manis dan harmonis.

Setidaknya, sebelum Ayah kesayangannya itu pamit untuk pergi jauh dan tak akan pernah kembali lagi.

Ia pandangi wajahnya di cermin, mata sembab, lingkaran hitam dibawah mata, pipi bengkak sebelah, sungguh kacau penampilannya saat ini. Belum cukup dengan tangisan semalam, bulir bening itu kembali menetes. Ingatannya memaksa untuk memutar kejadian dimana dering handphonenya bergetar tanda panggilan masuk, nama Ayah paling hebat tertera di layar. Namun, Risa tak sempat menjawabnya lantaran bersamaan dengan itu, dering keras dari telepon kantor yang berada diatas meja samping vas bunga lebih menarik untuk ia raih, ia tak tahu jika ternyata panggilan masuk pada pukul 21.04 WIB itu adalah panggilan masuk terakhir dari Ayah.

Terlalu banyak kata "seandainya" yang terucap yang juga tak dapat mengubah apapun. Ayahnya dikabarkan dapat tidur dengan tenang setelah melalui terapi yang cukup panjang. Gema dan raung tangis memenuhi lorong rumah sakit. Ibu, Adik laki-lakinya, serta Om Andi yang merupakan kerabat dekat Ayah terlihat lemas ketika dokter telah selesai menyampaikan kondisi Ayah dan menundukkan kepalanya tanda duka. 

Risa yang berdiri sekitar empat langkah dari mereka dan melihat Ibu memeluk Riza, adik laki-laki yang terpaut empat tahun dibawahnya dengan cepat mencerna apa yang terjadi dengan Ayah mereka. Awalnya ia tak percaya karena chat yang Om Andi kirimkan melalui whatsapp seakan mengatakan bahwa Ayah akhirnya dapat tertidur dengan tenang karena selama terapi yang dijalankan, tak pernah sekalipun Ayah dapat tertidur dengan nyaman. Ayah selalu mengatakan bahwa efek dari terapi membuat tubuhnya segar sehingga Ayah tak dapat tertidur apalagi ketika Risa maupun Riza sedang datang menjenguk. Faktanya, Ayah menahan rasa sakit didepan mereka.

Tangisan itu semakin deras, isaknya memenuhi kamar mandi. Risa menundukkan kepalanya, matanya terpejam, dadanya semakin sesak, penampilannya semakin hancur. Ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri, rasa bersalah dan kecewa menghantui pikirannya. Tangannya mengepal, mukanya merah, ia pukul cermin yang berada didepannya.

"MARISA!" 

Ia sampai lupa, masih ada Bunda dibalik pintu kamarnya.

"Kakak, berhenti ya?Bukan salah kamu, bukan salah siapa-siapa. Sudah takdirnya seperti ini, ikhlasin saja, ya?Ayah marah loh, kalau lihat kamu nyakitin diri sendiri begini. Cukup, ya?". Kata-kata Bunda menyeruak masuk memenuhi telinga yang membuat tubuhnya limbung, tangisan Risa semakin keras hingga membuat suaranya hilang. Bunda dengan cepat memeluk dan menenangkan putri sulungnya itu, hatinya ikut teriris mendengar tangisan Risa, mulutnya ikut meringis melihat darah segar keluar dari buku jari tangan yang sebelumnya Risa pukul ke cermin. "Kakak, disini masih ada Bunda, Bunda nggak akan ninggalin Kakak, Bunda janji".

Risa sampai lupa, masih ada Bunda yang selalu ada disisinya.

Tanpa disadari keduanya, Riza menonton dari pintu kamar mandi dengan air mata yang telah terbendung, yang mungkin sebentar lagi akan merembes membasahi pipi.

"Disini juga masih ada aku, Kak. Jangan nyalahin diri sendiri. Bukan cuma Ayah yang marah, aku juga bakal marahin Kakak kalau berani kayak gini lagi. Kita semua sakit ditinggal Ayah tapi perlahan bisa kok sembuh, ikhlasin pelan-pelan ya, Kak?Aku sama Bunda janji nggak akan ninggalin Kakak. Kakak juga harus janji nggak boleh ninggalin kita". 

Marisa sampai lupa, masih ada Mariza yang selalu ada untuknya.

"Ayah, maafin Risa ya. Risa janji bakal jaga Bunda sama Riza kayak Ayah jaga mereka".

Marisa Abimanyu sampai lupa, masih ada nama Ayahnya yang hebat dibelakang nama cantik pemberian orang tuanya. Dan tanpa ia sadari, Ayahnya selalu memeluk tubuh ringkih putri sulungnya, mengucap sayang dan maaf tanpa henti, berharap hal baik selalu membersamainya, meski tanpa rupa.

Hana Qathrunnada Yusuf Lets hear only pretty words and see only pretty things.

Belum ada Komentar untuk "Sapa Tanpa Rupa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel