Entri yang Diunggulkan

Essay Diah Ayu Fadilah: Kehidupan Petani dan Segenggam Rasa Syukurnya

Berselancar di arus digital

"Media Cetak vs Digital" karya Abdul Arif.
"Media Cetak vs Digital" karya Abdul Arif.
Teknologi punya andil besar dalam penyebaran informasi. Perubahan besar terjadi ketika internet berkembang. Orang tak lagi bersusah payah mencari apapun untuk mengobati rasa ingin tahu. Informasi bahkan datang sendiri. Bertebaran hingga menyumbat kanal-kanal aplikasi pengirim pesan. Itulah era digital di mana jarak, kecepatan dan waktu bukan lagi penghalang.

Jauh sebelum internet muncul, mesin cetak Gutenberg telah ditemukan di Jerman pada abad 15. Informasi meledak melalui materi tulisan yang dicetak secara cepat. Era telekomunikasi menyusul kemudian. Alexander Graham Bell membuat penemuan besar yang memungkinkan orang berkomunikasi jarah jauh. Tak lama kemudian muncullah televisi hingga komputer yang berkembang saat ini.

Untuk saat ini, internetlah yang mampu menggabungkan semua itu. Internet mampu mentransmisikan beragam media seperti teks, grafik, suara, musik, animasi dan video. Perkembangan mesin pencari pun ikut menyertai.  Orang perlu permisi ke Google atau mesin pencari serupa sebelum menemukan informasi yang diinginkan.

Di Indonesia, pengaruh internet sangat  besar menyertai perkembangan media massa. Media siber tumbuh begitu cepat. Bertolak belakang dengan kondisi media konvensional, seperti cetak, televisi maupun radio. Orang saat ini cenderung mengakses informasi dari ponsel pintar di genggaman ketimbang media cetak yang memerlukan biaya mahal. Terutama generasi milenial yang lekat dengan kekinian.

Catatan Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo menunjukkan, dari perkiraan 47.000 media yang ada di Indonesia, 43.300 di antaranya merupakan media siber. Ini merupakan jumlah yang cukup fantastis. Berkali lipat dari jumlah media cetak, televisi maupun radio yang selama ini jadi rujukan masyarakat.

Transformasi dari media konvensional ke digital adalah sebuah keniscayaan. Terlebih masyarakat di Indonesia saat ini cukup mendukung. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2016 merilis jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 132,7 juta dari total populasi penduduk Indonesia 256,2 juta orang. Mereka adalah pengguna aktif yang didominasi oleh usia 25-34 tahun (32,3 juta).

Hasil survei itu juga menunjukkan bahwa informasi masih menjadi konsumsi utama pengguna internet Indonesia. Selebihnya untuk keperluan hiburan, pekerjaan, pendidikan dan pengisi waktu luang.

Sayangnya, antusiasme masyarakat itu harus dihadapkan pada ironi bahwa tidak semua media online menyajikan konten yang baik. Banyak media menyajikan informasi tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik. Dewan Pers mengakui adanya kecenderungan itu.

Tumbuhnya media siber di satu sisi memperkokoh bangunan demokrasi. Masyarakat lebih punya banyak pilihan untuk kebutuhan informasi. Tetapi di sisi yang lain muncul persoalan besar. 

Era new media memungkinkan siapapun untuk mendirikan media online. Begitu mudahnya sehingga arusnya sulit untuk dibendung. Bahkan orang yang awam jurnalistik sekalipun. Anggota Pokja Komisi Pendataan dan Penelitian Media Dewan Pers, Winarno menyebutkan, tidak semua media siber dikelola oleh institusi media atau orang yang memiliki kompetensi sebagai jurnalis. Itulah yang menurutnya memunculkan banyak persoalan terkait etika jurnalistik. Yang sering mengemuka yaitu plagiarisme, akurasi data, kelengkapan, verifikasi dan keberimbangan berita.

Pengelola media seringkali hanya mengedepankan kecepatan. Mereka berasumsi bahwa berita yang dipublikasikan melalui media siber mudah diralat. Akurasi dan keberimbangan pun terabaikan.
Yang perlu diwaspadai adalah konten-konten yang sengaja dibuat untuk menebar kebencian. Kasus Saracen yang belakangan terungkap menunjukkan adanya motivasi lain untuk memanfaatkan tren new media. Mereka memproduksi konten-konten provokatif berisi kebencian dan hoax melalu berbagai kanal. Gerakan mereka terorganisir.

New media memang memiliki karakter yang sangat berbeda dari media konvensional. Peluang berinteraksi dalam era new media menjadi lahan empuk bagi pihak yang memiliki kepentingan tertentu.

Konten dibagikan melalui media sosial untuk mendapatkan tanggapan pembaca. Ada yang pro. Ada pula yang kontra. Biasanya akan berlanjut pada debat yang berkepanjangan. Di saat cekcok itulah penebar kebencian itu bertepuk tangan.

Seperti itulah arus new media. Ada banyak peluang maupun jebakan. Peselancar perlu berbekal literasi media yang memadai. Kunci utamanya adalah memahami etika jurnalistik. Selama ini masyarakat cenderung abai. Urusan kode etik seolah menjadi tanggung jawab jurnalis semata. Di era new media, masyarakat berada di posisi strategis untuk mengontrol sekaligus memberikan klarifikasi.

Abdul Arif 
Blogger dan kartunis lepas. Sedang menempuh pendidikan magister Prodi Kurikulum dan Teknologi Pembelajaran Pascasarjana UNNES

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel